Author : Helmi Nawali
Seorang Kawan menulis sebuah note menarik di Halaman Facebooknya, semoga Bermanfaat
Berbagai tudingan miring telah banyak ditujukan kepada agama Islam,
yang kitabnya palsu lah, yang Nabinya pembohong, yang irasional, dan
sebagainya. Tuduhan-tuduhan tersebut biarlah menjadi bahan instropeksi
bagi umat Islam untuk mengkaji Islam lebih dalam.
Salah satu ciri khas Islam bahwasanya Islam tidak hanya mengatur hal-hal besar dalam kehidupan. Islam memberikan rule
(aturan) dalam setiap aktifitas manusia. Pada kesempatan ini, akan
dibahas bagaimana etika dan aturan sebelum menyantap makanan.
Hemmm,
makanan? Ah, tema yang sederhana atau mungkin diremehkan oleh sebagian
kalangan. Tapi, jangan salah. Makanan memiliki dampak yang sangat hebat
dan luas. Makanan bisa berdampak terhadap kesehatan jasmani dan rohani.
Makanan juga berdampat terhadap keselamatan dunia dan akhirat. Bahkan,
meminjam istilah Imam Ghazali, makanan berdampak terhadap kaya atau
miskin. Makanan juga merupakan ibadah, sebab kaidahnya “Ma yusta’anu ‘alal ibadah, ibadah” (Sarana dan prasarana ibadah juga dikategorikan sebagai ibadah).
Bagaimana
dan apa saja yang harus dilakukan oleh seseorang sebelum menyantap
makanan? Untuk menjawab hal ini, penulis merujuk kepada kitab Ihya’ Ulumuddin, magnum opuznya Imam Ghazali (Tunggu karya penulis edisi berikutnya yang akan membahas tentang pemuja dan pencela Ghazali).
Etika Pertama, sebelum makan, hendaknya seseorang memperhatikan status makanan dan minuman yang “halalan thayyiban”. Makanan itu harus diperoleh dengan cara yang halal dan tidak syubhat. Selain itu makanan harus thayyib,
makanan yang menurut kebanyakan orang dianggap enak, sedap dipandang,
dan bersih. Kenapa harus yang halal? Makanan halal setidaknya mengandung
kepatuhan terhadap Tuhan dan aspek sosial. Dengan memakan makanan yang
halal, berarti kita telah mematuhi dan mentaati titah Tuhan. Bukankah
tidak ada hal lain yang lebih besar ketimbang mematuhi titah-Nya?
Implikasi dari kepatuhan tersebut, kita akan diselamatkan dari siksa
Neraka. Nabi saw. pernah bersabda: Ma nabata minal haram, fa Annaru awla bih (Daging
yang tumbuh dari barang haram, maka neraka lebih pantas baginya).
Artinya, secuil saja barang haram yang masuk ke dalam tubuh, bisa
dipastikan hal itu akan menyebar mengikuti aliran darah dan kemungkinan
tumbuh menjadi daging dalam tubuh kita. Sehingga, jangan secuilpun
memakan makanan dan minuman yang haram.
Selanjutnya,
ke-halal-an juga berdampak terhadap aspek sosial. Artinya, dengan
memakan yang halal saja, kita tidak mendzalimi sesama. Berarti makanan
itu didapatkan dari cara yang halal dan baik, bukan dengan jalan
mencuri, merampok, mencopet, menjarah, korupsi, dan sebagainya.
Etika Kedua,
membasuh tangan sebelum makan. Islam dengan aturan ini berusaha menjaga
kesehatan umatnya. Kita tahu bahwa dalam satu jam saja, tangan sudah
menyentuh banyak hal; menyentuh tubuh sendiri, tubuh orang lain, pulpen,
buku, komputer, sepeda motor, atau bahkan menyentuh sesuatu yang
jelas-jelas jorok dan kotor. Barang-barang tersebut bisa dipastikan
memiliki bakteri yang menempel padanya, sehingga tatkala tangan
menyentuh benda-benda tersebut tentu bakterinya juga akan menempel ke
tangan si penyentuh. Di sinilah pentingnya mencuci tangan sebelum makan.
Jangan sampai bakteri dan kotoran yang menempel di tangan ikut masuk ke
dalam tubuh, sehingga suatu saat akan berdampak negatif terhadap
kesehatan.
Kalau istilahnya Imam Ghazali, menyitir sebuah
hadis “Berwudlu’ (membasuh anggota tubuh, utamanya tangan) sebelum
menyantap makanan menegasikan kefakiran”. Atau dengan kata lain, dengan
membasuh tangan sebelum makan, berarti kita menghindari kehakiran.
Kata-kata ini berusaha mensugesti umat Islam agar selalu memperhatikan
kebersihan dan kesehatan. Sebab sehat itu mahal. Penyakit itu kebanyakan
berasal dari pola makan yang salah, termasuk diantaranya makan dengan
tangan kotor. Konon, untuk operasi usus buntu saja dibutuhkan dana
sekitar 20 juta rupiah. Artinya, bila gara-gara makan dengan tangan
kotor saja bisa menyebabkan penyakit usus buntu, maka akibatnya kita
akan mengeluarkan uang 20 juta untuk mengatasi penyakit itu. Andai saja
tangannya disterilkan dulu sebelum makan, maka 20 juta tidak akan
melayang.
Etika Ketiga ialah menggelar tikar (sufrah) di atas tanah sebagai tempat menyantap makanan atau dalam istilah terkini “Lesehan”.
Aturan ini bukan suatu keharusan, hanya sebuah tawaran yang memiliki
nilai sosial. Artinya, boleh-boleh saja makan di atas meja, makan di
atas pesawat, makan di manapun dan menggunakan sarana apapun. Namun, apa
yang ditawarkan oleh Imam Ghazali nampaknya memiliki nilai plus.
Nilai plus yang bisa dipetik dari duduk ala lesehan adalah sebagai berikut: Pertama , Tanah merupakan esensi manusia. Dengan metode lesehan, kita diingatkan akan asal-muasal kita. Kedua,
dengan lesehan, kita diajarkan untuk senantiasa memiliki rasa tawadhu’
(rendah diri). Tidak ada perbedaan antara majikan dan pesuruh, pejabat
dan rakyat, kyai dan santri, rektor, dosen, dan mahasiswa, semuanya
berbaur di atas tikar yang digelar. Duduk model lesehan tidak menjadikan
yang berstatus sosial rendah merasa sungkan. Berbeda bila duduk diatas
kursi dan makananya ditata sedemikian rupa di meja. Dalam situasi
seperti ini, yang merasa status sosialnya lebih rendah akan segan duduk
di atas kursi. Dengan kata lain, lesehan menciptakan keakraban tanpa pandang bulu.
Ketiga, lebih
relaks ketimbang duduk model lainnya. Lesehan membuat kita leluasa
bergerak. Kita bisa duduk dengan berbagai model, sesuai dengan suasana
forum. Bila dengan teman sejawat, kita bisa duduk bersila, berselonjor,
atau model duduk yang lainnya. Bila dengan atasan, setidaknya kita
menjaga sikap agar terlihat sopan, jangan duduk berselonjor.
Akhir-akhir
ini warung, depot, dan restoran juga mulai merubah desain tempat
duduknya. Sudah banyak yang mendesain rumah makan dengan model lesehan.
Ini merupakan sebuah bukti bahwa duduk model lesehan memiliki nilai plus
yang saya sebutkan di atas. Artinya, rumah makan selama ini sudah
merasa jenuh dengan model-model sebelumnya, dan berusaha kembali ke khittah (lesehan), sehingga nuansa yang diciptakannya menjadi penarik bagi konsumen.
Etika Keempat
yaitu hendaklah makan dan minum dengan duduk yang tenang. Jangan makan
dan minum dalam keadaan berdiri, terlentang, atau sambil berlari.
Anjuran duduk saat menyantap makanan atau meneguk minuman memiliki dua
makna.
- Pertama,orang yang makan sembari duduk dengan tenang akan terlihat lebih berwibawa ketimbang makan sambil berdiri atau dalam posisi lainnya. Islam menginginkan umatnya agar terlihat wibawa dan tidak diremehkan oleh orang lain. Bayangkan bila seorang presiden atau pengasuh pondok pesantren menyantap makanan sambil berjalan atau sambil tidur-tiduran, tentu hal itu akan mencoreng harga diri dan kewibawaannya.
- Kedua, Islam memperhatikan kesehatan umatnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan “Janganlah kamu minum sambil berdiri”. Larangan ini bila dilihat dari sisi medis ternyata berdampak terhadap kesehatan tubuh. Tubuh ibarat selang air. Bila selang itu tidak menekuk, maka saluran air akan sangat lancar dan cepat. Begitu pula tubuh, bila kita mengkonsumsi makanan atau minuman sambil duduk, maka apa yang kita konsumsi akan berjalan pelan dan lembut. Berbeda bila minum sambil berdiri, maka akan menyebabkan makanan dan minuma jatuh ke usus dengan keras dan cepat, jika hal ini terjadi berulang-ulang dalam waktu lama maka akan menyebabkan melar dan jatuhnya usus, yang kemudian menyebabkan disfungsi pencernaan.
Lebih lanjut, posisi berdiri
menuntut tubuh bekerja keras untuk menjaga keseimbangan dan agar bisa
berdiri dengan stabil dan sempurna. Sehingga bisa dipastikan, dalam
keadaan berdiri otot-otot menjadi lebih tegang dan tidak relaks. Ini
merupakan kerja yang sangat teliti yang melibatkan semua susunan syaraf
dan otot secara bersamaan, yang menjadikan manusia tidak bisa mencapai
ketenangan yang merupakan syarat terpenting pada saat makan dan minum.
Ketenangan ini bisa dihasilkan pada saat duduk, di mana syaraf berada
dalam keadaan tenang dan tidak tegang, sehingga sistem pencernaan dalam
keadaan siap untuk menerima makanan dan minum dengan cara cepat.
Hal
ini tentu bertolak belakang dengan sebagian budaya kita saat menjamu
para tamu. Ketika menjamu tamu, biasanya kita cenderung untuk memberikan
pelayanan dan suguhan yang terbaik, di antaranya dengan menghidangkan
makanan ala Prasmanan. Setiap tamu yang hadir dipersilahkan sendiri
memilih menu makanan yang sesuai dengan seleranya masing-masing. Dan
biasanya model prasmanan ini tidak menyediakan kursi / tempat duduk yang
memadai. Sehingga kebanyakan tamu akan makan sambil berdiri, jongkok, dan sebagainya tergantung stok kursi yang disediakan oleh tuan Rumah.
Nampaknya
budaya prasmanan dengan fakta seperti yang saya sebutkan di atas harus
didesain ulang sehingga semua orang yang ikut makan dan minum dalam
jamuan tersebut bisa makan dan minum sambil duduk dengan tenang. Siapa
yang harus mendesain ulang????
Etika Kelima,
menata niat. Ingat bahwa Makan merupakan sarana untuk mendukung
terlaksananya ibadah dengan sempurna. Tubuh memerlukan stamina dan
kekuatan yang bisa tercukupi dengan makanan dan minuman. Dengan berniat
agar kuat dan sempurna dalam melaksanakan kewajiban, maka aktifitas
makanpun bernilai bahkan merupakan ibadah itu sendiri. Sebab kaidahnya, ma yusta’anu ‘alal ibadah, ibadah
(Segala hal yang dijadikan sarana dalam ibadah, juga dinamakan ibadah).
Aktifitas makan secara lahir memang tidak ada kaitannya dengan ibadah,
namun bila aktifitas tersebut ditujukan agar seseorang kuat dan sempurna
dalam melaksanakan ibadah, makan makanpun juga dikategorikan sebagai
aktifitas yang bernilai ibadah.
Ketika hendak menyantap
makanan, kita dianjurkan untuk menata niat sehingga aktifitas makan yang
kita lakukan memiliki nilai plus. Sebab, bila makan hanya ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan tubuh dan nafsu, tidak ada bedanya antara orang
Islam dengan non-Islam. Tidak ada bedanya antara manusia dengan hewan
yang tak pernah berniat “’I’anah ‘ala taqwa”. Jadi, niat tersebut menjadi pembeda antara yang berakal dan tidak berakal, antara yang Islam dan non-Islam.
Dengan
menata niat semacam itu, salah satu implikasinya adalah makan saat
tubuh membutuhkannya, bukan saat nafsu menginginkannya. Bila perut sudah
merasa lapar, baru ia mengkonsumsi makanan dan itupun hanya sekedar
untuk mengganjal perut (tidak terlalu kenyang). Sehingga tidak ada beda
antara menu makanannya lezat atau tidak, ia tetap makan sesuai dengan
kebutuhan. Berbeda bila motivasi makannya adalah nafsu, pasti ia akan
makan dengan lahap sampai kenyang. Nabi Muhammad saw. bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما ملأ آدمي وعاء شرا من بطنه حسب ابن آدم لقيمات يقمن صلبه فإن لم يفعل فثلث طعام وثلث شراب وثلث للنفس
“Anak
Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya.
Cukuplah beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak
ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga
untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk
pernafasan." HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban”
Hadis
tersebut di atas merupakan anjuran agar makan tidak terlalu kenyang,
sebab kondisi perut yang terlalu kenyang bisa mengakibatkan kemalasan
dan rentan penyakit. Bukankah Rasulullah saw. seumur hidup hanya sakit
dua kali? Apa rahasianya? Sebenarnya tips sehat ala Rasulullah saw.
terletak pada hadis ini.
Etika Keenam, makan
seadanya. Bila makanan sudah disiapkan untuk kita, maka janganlah
menunggu atau mencari makanan lain yang lebih lezat. Nikmatilah makanan
yang sudah disediakan. Berusahalah untuk belajar makan apa adanya.
Mengapa Rasulullah mengajarkan etika semacam ini? Apakah beliau
menginginkan umatnya hidup miskin? Tidak, dengan anjuran semacam ini
Rasulullah saw berusaha mengajak kita hidup sederhana sebab di luar sana
betapa banyak saudara-saudara kita yang belum bisa menikmati makanan
enak atau bahkan tidak bisa menikmati makanan ala kadarnya. Anjuran ini
berusaha meningkatkan kepekaan sosial.
Selain itu, anjuran
semacam ini berusaha mengajarkan kita agar menghargai segala sesuatu
termasuk makanan. Makanan yang sudah ada itu harus dinikmati sebagai
bentuk penghargaan kita terhadapnya. Bila kita masih mencari menu lain,
sementara di hadapan kita sudah tersedia, berarti kita menghina makanan
yang sudah ada atau kurang menghargainya. Dengan kata lain, anjuran
Rasulullah ini juga berusaha meningkatkan “kepekaan sosial terhadap
makanan”.
Etika Ketujuh, usahakan setiap kali
makan kita mengajak orang lain untuk makan bersama. Anjuran ini
mengajarkan kita untuk hidup bermasyarakat, tidak egois, tidak
individualis, sosialis, lomanis, dan sebagainya. Dilihat dari
aspek ini, sebenarnya Islam sangat memperhatikan aspek sosial. Pada
etika-etika sebelumnya telah saya jelaskan bahwa di antara etika yang
ditawarkan berusaha meningkatkan kepekaan sosial. Harapannya, tidak ada
kesenjangan yang signifikan antara si kaya dan si miskin, pejabat dan
rakyat, tua dan muda, dan seterusnya. Sehingga kehidupan bermasyarakat
menjadi lebih sejahtera secara merata.
Demikian ketujuh
etika yang harus diperhatikan oleh “para pemakan” sebelum menikmati dan
menyantap makanannya. Semoga tulisan yang singkat ini bisa menjadi
pelajaran bagi kita semua. Amin.
Wallahu A’lam
0 komentar:
Post a Comment