Kata istighotsah (استغاثة) berasal dari al-ghouts (الغوث) yang berarti pertolongan. Dalam ilm sorof kalimat tersebut mengikuti pola (wazan) istaf’ala استفعل atau istif’al
menunjukkan arti mencari, meminta/pemintaan atau pemohonan. Maka
istighotsah berarti memohonpertolongan. Contoh serupa dapat kita temukan
dalam kata ghufron غفران yang berarti ampunan ketika diikutkan pola istif’al menjadi istighfar استغفار yang berarti memohon ampunan.
Adanya pendekatan dalam meminta adalah lumrah, dalam tatanan keseharian
kita mungkin kerap menemukannya, dalam keluarga misalnya, ketika sang
anak begitu rajin membantu ada mau dibalik aktivitas yang ia lakukan.
Begitu pula ketika kita memohon pada Tuhan, tentu ada pendekatan yang
harus dilakukan, salah satu nya dengan jalan Istighosah.
Dalam surat al-Anfal ayat 09 disebutkan :
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ
“(Ingatlah wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu lalu Dia mengabulkan permohonanmu.” (QS al-Anfal:09).
Ayat tersebut menjelaskan peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW memohon bantuan
dari Allah SWT, saat itu beliau berada di tengah berkecamuknya perang
badar dimana kekuatan musuh tiga kali lipat lebih besar dari pasukan
Islam. Kemudian Allah mengabulkan permohonan Nabi dengan memberi bantuan
pasukan tambahan berupa seribu pasukan malaikat.
Ulama' klasik di Indonesia, wabil khusu di pondok-pondok
pesantren secara turun temurun menggunakan istighosah dalam salah satu
cara pendekatan kepada Allah, Selain itu pendekatan tersebut juga di
kenalkan kepada santri-santrinya, bukan sebagai jimat. Namun
lebih sebagai pegangan. selain secara turun temurun tetap menjaga
istighosah tetap ada dan menjadi sebuah media antara hamba dan Tuhannya.
Istighotsah juga disebutkan dalam hadits Nabi, di antaranya:
Sesungguhnya matahari akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, sehingga keringat sebagian orang keluar hingga mencapai separuh telinganya, ketika mereka berada pada kondisi seperti itu, mereka beristighotsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam, kemudian kepada Nabi Musa kemudian kepada Nabi Muhammad. (H.R.al-Bukhari).
Hadits ini juga merupakan dalil dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa seorang nabi atau wali adalah sebab. Terbukti ketika manusia di padang mahsyar terkena terik panasnya sinar Matahari mereka meminta tolong kepada para Nabi. Kenapa mereka tidak berdoa kepada Allah saja dan tidak perlu mendatangi para nabi tersebut? Seandainya perbuatan ini adalah syirik niscaya mereka tidak melakukan hal itu dan jelas tidak ada dalam ajaran Islam suatu perbuatan yang dianggap syirik.
Sesungguhnya matahari akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, sehingga keringat sebagian orang keluar hingga mencapai separuh telinganya, ketika mereka berada pada kondisi seperti itu, mereka beristighotsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam, kemudian kepada Nabi Musa kemudian kepada Nabi Muhammad. (H.R.al-Bukhari).
Hadits ini juga merupakan dalil dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa seorang nabi atau wali adalah sebab. Terbukti ketika manusia di padang mahsyar terkena terik panasnya sinar Matahari mereka meminta tolong kepada para Nabi. Kenapa mereka tidak berdoa kepada Allah saja dan tidak perlu mendatangi para nabi tersebut? Seandainya perbuatan ini adalah syirik niscaya mereka tidak melakukan hal itu dan jelas tidak ada dalam ajaran Islam suatu perbuatan yang dianggap syirik.
Dalam pandangan yang lebih moderat, sebagian pendapat mengatakan, bahwa mereka saat itu sebenarnya bukan ber-istighosah kepada nabi-nabi yang telah disebutkan, akan tetapi ber-istighotsah
kepada Allah, dengan perantara orang-orang sholeh, yaitu nama-nama nabi
yang telah disebutkan dimuka, agar supaya permohonnan yang mereka
sampaikan kepada Allah dikabulkan oleh Allah, berkat perantara
orang-orang yang secara derajat sangat dekat hubungannya dengan Allah.
Model do’a atau permohonan yang sejenis istighostah sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat al-Bukhori tersebut, dalam diskursus kajian Islam ilmu bahasa atau Balaghoh disebut majaz isti’aroh menggunakan ‘alaqoh musyabahah (keserupaan), dengan pemahaman yaitu menyebutkan musyabbah yang dikehendaki adalah musyabbah bih-nya atau menyabutkan orang yang diberi kelebihan, padahal yng dimaksud adalah Allah, dapat juga dipahami menyerupakan orang yang diberi wewenang dengan atau kepada orang yang memberi wewenang.
Model do’a atau permohonan yang sejenis istighostah sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat al-Bukhori tersebut, dalam diskursus kajian Islam ilmu bahasa atau Balaghoh disebut majaz isti’aroh menggunakan ‘alaqoh musyabahah (keserupaan), dengan pemahaman yaitu menyebutkan musyabbah yang dikehendaki adalah musyabbah bih-nya atau menyabutkan orang yang diberi kelebihan, padahal yng dimaksud adalah Allah, dapat juga dipahami menyerupakan orang yang diberi wewenang dengan atau kepada orang yang memberi wewenang.
0 komentar:
Post a Comment