Terlepas dari masih berbeda pendapatnya mengenai masuknya Islam di Indonesia [terdapat tiga pendapat, lihat disini] Islam telah mengakar dan membudaya di Negara ini. Sudah beratus-ratus tahun keberadaannya dan turun temurun masih dipertahankan, baik secara tradisi, peninggalan fisik, dsb.
Masjid adalah tempat ibadah Muslim yang dapat dijumpai diberbagai tempat di Indonesia. Menurut data Lembaga Ta'mir Masjid Indonesia, saat ini terdapat 125 ribu masjid yang dikelola oleh lembaga tersebut, sedangkan jumlah secara keseluruhan berdasarkan data Departemen Agama
tahun 2004, jumlah masjid di Indonesia sebanyak 643.834 buah, jumlah
ini meningkat dari data tahun 1977 yang sebanyak 392.044 buah.
Diperkirakan, jumlah masjid dan mushala di Indonesia saat ini antara
600-800 ribu buah.
Dan Masjid menjadi salah satu peninggalan fisik yang sampai saat ini masih tetap di gunakan [sejatinya belum pantas di sebut peninggalan ya? kan belum ditinggalkan, dan semoga tidak]. kembali ke masjid, yang secara turun temurun menjadi sarana dan prasarana dakwah keislaman, melakukan peribadatan, menjadi pusat informasi dan pelbagai macam fungsi masjid baik secara sosial maupun spiritual.
Berikut 8 Masjid tertua yang sampai saat ini masih kokoh dan dapat di saksikan di Indonesia, yang telah berabad-abad masyarakatnya mayoritas menganut agama Islam.
(List berikut tidak berdasarkan tahun paling tua atau mana yang lebih dahulu dibangun, oleh karena itu tidak menggunakan simbol numerik)
- Masjid Agung Demak
Berbicara Demak tak bisa lepas dari Masjid Agung Demak yang merupakan landmark Kabupaten Demak. Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Pulau Jawa, didirikan Wali Sembilan atau Wali Songo.
Lokasi Masjid berada di pusat kota Demak, berjarak + 26 km dari Kota
Semarang, + 25 km dari Kabupaten Kudus, dan + 35 km dari Kabupaten
Jepara.
Masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi
Bintoro Demak. Struktur bangunan masjid mempunyai nilai historis seni
bangun arsitektur tradisional khas Indonesia. Wujudnya megah, anggun,
indah, karismatik, mempesona dan berwibawa.
Masjid ini dibangun pada
abad ke-15 Masehi, oleh Raden Patah yang saat itu menjadi raja pertama
dari Kesultanan Demak. Masjid ini dipercaya pernah menjadi tempat
berkumpulnya para ulama atau wali agama Islam di Tanah Jawa yang
disebut dengan Walisongo.
Walisongo dan Raden Patah
mendirikan masjid yang karismatik ini dengan memberi gambar serupa
bulus. Gambar bulus ini terdiri dari kepala yang berarti satu, empat
kaki yang berarti empat, badan bulus yang berarti nol, dan ekor bulus
yang berarti satu. Dari simbol itu, diperkirakan bahwa Masjid Agung
Demak berdiri tahun 1401.
Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Salah satu dari tiang utama tersebut konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit.
Atap limas Masjid terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan ; (1)
Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu
Bledeg”, mengandung candra sengkala, yang dapat dibaca Naga Mulat Salira Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak dan para abdinya. Di kompleks ini juga terdapat Museum Masjid Agung Demak, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat Masjid Agung Demak.
Masjid Agung Demak dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1995.
- Masjid Saka Tunggal
Disebut Saka Tunggal karena tiang penyangga bangunan masjid ini, dulunya hanya satu tiang (tunggal)Masjid Saka Tunggal terletak di desa Cikakak kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, provinsi Jawa Tengah. Masjid ini dibangun pada tahun 1288 seperti yang tertulis pada Saka Guru
(Tiang Utama) masjid ini. Namun, tahun pembuatan masjid ini lebih jelas
tertulis pada kitab-kitab yang ditinggalkan pendiri masjid ini, yaitu
Kyai Mustolih. Tetapi kitab-kitab tersebut telah hilang bertahun-tahun
yang lalu.
Setiap tanggal 27 Rajab di masjid ini diadakan pergantian Jaro dan pembersihan makam Kyai Mustolih. Masjid yang berjarak ± 30 km dari kota Purwokerto ini.
- Masjid Wapauwe
Masjid Tua Wapauwe adalah masjid yang sangat bersejarah dan merupakan
masjid tertua di Maluku. Umurnya mencapai tujuh abad. Masjid ini
dibangun pada tahun 1414 M. Masjid yang saat ini masih berdiri dengan
kokohnya, menjadi bukti sejarah Islam di Maluku pada masa lampau.
Sekilas tidak ada yang terlalu istimewa dengan Masjid Wapauwe di Kaitetu, Maluku Tengah. Namun bangunan yang dikenal sebagai masjid tertua di Maluku itu terbuat dari sagu. Bukti sejarah kebudayaan Islam di Maluku telihat jelas dari berdirinya masjid penuh dengan nilai sejarah di Kaitetu, Maluku Tengah. Masjid tersebut bernama Wapauwe dan sudah ada sejak abad ke-14.
Di luar keistimewaan Masjid Wapauwe sebagai rumah ibadah bersejarah, ternyata ada keunikan yang dimiliki oleh bangunan ini. Hampir semua material masjid berbahan baku yang berasal dari tumbuhan sagu.
Masjid ini dibuat tanpa paku, semen dan bahan material lainnya yang biasa digunakan oleh sebuah bangunan. Masjid Wapauwe berdinding gaba-gaba atau pelepah sagu yang dikeringkan. Atapnya diselimuti daun rumbia yang selalu dirawat dengan baik. Bangunan utama masjid berukuran hanya 10 x 10 meter saja. Namun, kemudian dibangunlah ruangan tambahan berukuran 6,35 x 4,75 meter.
Selain unik, rupanya masjid ini juga diselimuti mitos. Menurut cerita yang berkembang di tengah masyarakat, dulu sebenarnya Masjid Wapauwe tidak terletak di Kaitetu, tapi di Tehala, desa yang berada di atas bukit dan tidak jauh dari Kaitetu. Masyarakat Tehala berpindah ke Kaitetu tentu tanpa membawa masjid tersebut.
Sekilas tidak ada yang terlalu istimewa dengan Masjid Wapauwe di Kaitetu, Maluku Tengah. Namun bangunan yang dikenal sebagai masjid tertua di Maluku itu terbuat dari sagu. Bukti sejarah kebudayaan Islam di Maluku telihat jelas dari berdirinya masjid penuh dengan nilai sejarah di Kaitetu, Maluku Tengah. Masjid tersebut bernama Wapauwe dan sudah ada sejak abad ke-14.
Di luar keistimewaan Masjid Wapauwe sebagai rumah ibadah bersejarah, ternyata ada keunikan yang dimiliki oleh bangunan ini. Hampir semua material masjid berbahan baku yang berasal dari tumbuhan sagu.
Masjid ini dibuat tanpa paku, semen dan bahan material lainnya yang biasa digunakan oleh sebuah bangunan. Masjid Wapauwe berdinding gaba-gaba atau pelepah sagu yang dikeringkan. Atapnya diselimuti daun rumbia yang selalu dirawat dengan baik. Bangunan utama masjid berukuran hanya 10 x 10 meter saja. Namun, kemudian dibangunlah ruangan tambahan berukuran 6,35 x 4,75 meter.
Selain unik, rupanya masjid ini juga diselimuti mitos. Menurut cerita yang berkembang di tengah masyarakat, dulu sebenarnya Masjid Wapauwe tidak terletak di Kaitetu, tapi di Tehala, desa yang berada di atas bukit dan tidak jauh dari Kaitetu. Masyarakat Tehala berpindah ke Kaitetu tentu tanpa membawa masjid tersebut.
- Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Masjid Agung Sang Cipta Rasa (dikenal juga sebagai Masjid Agung Kasepuhanatau Masjid Agung Cirebon) adalah sebuah masjid yang terletak di dalam kompleksKeraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, Indonesia. Konon, masjid ini adalah masjid tertua di Cirebon,
yaitu dibangun sekitar tahun 1480 M atau semasa dengan Wali
Songomenyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Nama masjid ini diambil dari
kata “sang” yang bermakna keagungan, “cipta” yang berarti dibangun, dan
“rasa” yang berarti digunakan.
Menurut tradisi, pembangunan masjid ini dikabarkan melibatkan sekitar 500 orang yang didatangkan dari Majapahit, Demak, dan Cirebon sendiri. Dalam pembangunannya, Sunan Gunung Jati menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya. Selain itu, Sunan Gunung Jati juga memboyong Raden Sepat, arsitek Majapahit yang menjadi tawanan perang Demak-Majapahit, untuk membantu Sunan Kalijaga merancang bangunan masjid tersebut.
Menurut tradisi, pembangunan masjid ini dikabarkan melibatkan sekitar 500 orang yang didatangkan dari Majapahit, Demak, dan Cirebon sendiri. Dalam pembangunannya, Sunan Gunung Jati menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya. Selain itu, Sunan Gunung Jati juga memboyong Raden Sepat, arsitek Majapahit yang menjadi tawanan perang Demak-Majapahit, untuk membantu Sunan Kalijaga merancang bangunan masjid tersebut.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa
terletak di sebelah utaraKeraton Kasepuhan. Masjid ini terdiri dari dua
ruangan, yaitu beranda dan ruangan utama. Untuk menuju ruangan utama,
terdapat sembilan pintu, yang melambangkanWali Songo. Masyarakat Cirebon
tempo dulu terdiri dari berbagai etnik. Hal ini dapat dilihat pada
arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang memadukan gaya
Demak,Majapahit, dan Cirebon.
Kekhasan masjid ini terletak pada
atapnya yang tidak memiliki memolo berupa kubah, sebagaimana yang lazim
ditemui pada atap masjid-masjid di Pulau Jawa. Konon, dahulunya masjid
ini berkubah. Namun, saat azan pitu (tujuh) salat Subuh digelar untuk
mengusir Aji Menjangan Wulung, kubah tersebut pindah ke Masjid Agung
Banten yang sampai sekarang masih memiliki dua kubah. Karena cerita
tersebut, sampai sekarang setiap salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta
Rasa digelar Azan Pitu. Yakni, azan yang dilakukan secara bersamaan oleh
tujuh orang muazin berseragam serba putih.
Pada bagian mihrab masjid, terdapat
ukiran berbentuk bunga teratai yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Selain
itu, di bagian mihrab juga terdapat tiga buah ubin bertanda khusus yang
melambangkan tiga ajaran pokok agama, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.
Konon, ubin tersebut dipasang oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan
Sunan Kalijaga pada awal berdirinya masjid.
Di beranda samping kanan (utara) masjid, terdapat sumur zam-zam atau Banyu Cis Sang Cipta Rasa yang
ramai dikunjungi orang, terutama pada bulan Ramadhan. Selain diyakini
berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit, sumur yang terdiri dari
dua kolam ini juga dapat digunakan untuk menguji kejujuran seseorang.
Pada saat awal pembangunan Masjid Agung
Demak, adalah Sunan Gunung Jati yang memohon izin kepada para wali
lainnya untuk membuat pasangan Masjid Agung Demak itu di Kota Cirebon.
Jika Masjid Agung Demak dikatakan memiliki watak maskulin, maka Masjid
Agung Sang Cipta Rasa ini dikatakan memiliki sifat feminin.
Gapura depan Masjid Agung Sang Cipta Rasa
yang terbuat dari susuan batu bata merah bergaya Majapahitan. Atap
Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini berbentuk limasan dan tanpa mahkota
masjid pada puncak bangunannya, tidak sebagaimana masjid wali lainnya
yang beratap tajug atau piramid susun berjumlah ganjil.
Bagian beranda samping Masjid Agung Sang Cipta Rasa
dengan tiang-tiang kayu berukir pada bagian atasnya yang terlihat sudah
sangat tua. Berbeda dengan tradisi masjid pada umumnya, azan pertama
saat ibadah shalat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini menggunakan
‘Azan Pitu’, yaitu 7 orang muazin mengumandangkan adzan secara bersama.
Tradisi ini konon diwariskan oleh Sunan Kalijaga, saat sang wali
mengusir wabah penyakit yang dikenal dengan nama Satria Menjangan
Wulung.
Kayu ukir indah bertuliskan huruf-huruf
Arab yang berada di bagian depan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Meskipun
terlihat tua dan kusam, namun ukiran kayu di Masjid Agung Sang Cipta
Rasa ini masih memancarkan keindahan seni ukirnya yang halus. Gentong-gentong penampung air di Masjid Agung Sang Cipta Rasa
yang sering digunakan Sultan untuk membasuh muka, tangan dan kaki
sewaktu berwudlu, guna membersihkan diri sebelum melakukan shalat.
- Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten termasuk dalam wilayah Desa Kasemen,Kecamatan
Kasemen, Kabupaten Serang,ProvinsiJawa Barat.Bangunan masjid berbatasan
dengan perkampungan di sebelah utara, barat, dan selatan, alun-alun di
sebelah timur, dan benteng/keraton Surosowan di sebelah tenggara.
Masjid Agung Banten merupakan suatu kompleks dengan luas tanah 1,3 ha
dan dikelilingi pagar tembok setinggi satu meter. Pada sisi tembok timur
dan barat masing-masing terdapat dua buah gapura di bagian utara dan
selatan yang letaknya sejajar. Bangunan masjid menghadap ke timur
berdiri di atas pondasi masif dengan ketinggian satu meter dari halaman.
Bangunan ruang utama berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 25 ×
19 m. Lantai dari ubin berukuran 30 × 30 cm berwarna hijau muda dan
dibatasi dinding pada keempat sisinya. Din-ding timur memisahkan ruang
utama dengan serambi timur. Pada dinding ini terdapat empat pintu dengan
lubang angin yang me-rupakan pintu masuk utama. Pimtu terletak di
tengah bidang segi empat dari dinding yang menonjol beruku-ran 174 × 98
cm dengan dua daun pintudan kayu.Pintu bagian atas berbentuk lengkung
setengah lingakaran. Lubang angin pada din-ding timur ada dua buah yang
mengapit pintu paling selatan berbentuk persegi panjang dan didalamnya
terdapat segi tiga berjajar terdiri atas dua baris dan diantarannya
terdapat hiasan motif kertas tempel. Dinding barat tingginya 3,3 m
memiliki tiga buah jendela berbentuk segi empat berukuran 180 × 152 cm
dengan dua daun jendela berkaca buram. Lubang angin terdiri dari
kumpulan segi tiga seperti dinding timur. Dinding barat tersebut
berhiaskan pelipit rata, penyangga, setengah lingkaran,dan pelipit
cekung. Dinding sisi utara membatasi ruang utama dengan serambi utara
dengan sebuah pmtu masuk berbentuk empat persegi panjang berukuran 240 ×
125 cm, berdaun pintu dua dan kayu. Jendela pada dinding utara dua buah
dengan dua daun jendela berbentuk segi empat berukuran 180 × 152 cm.
Sedangkan dinding selatan.hanya mempunyai satu pintu yang menghubungkan
ruang utama dengan pawestren, terletak di dekat sudut barat dinding.
Tiang yang terdapat pada ruang utama berjumlah 24 buah terdiri dan empat
buah tiang utama dan 20 buah tiang penyangga. Tinggi tiang lama 11
meter terbuat dari kayu jati dengan delapan tanpa hiasan. Tiang-tiang
yang lain tingginya berbeda. Tiang yang mempunyai ketinggian 7,30 m ada
delapan buah, sedangkan sisanya 12 buah berukuran tinggi 4,40 m Tiang
berdiri di atas umpak dari batu andesit berbentuk buah labu. Umpak tiang
mama tingginya 50 cm dengan pelipit rata pada bagian atas dan bawahnya.
Umpak-umpak yang ruang utama tersebut bervariasi dengan bagian bawah
dihiasi oleh pucuk daun yang mengarah ke bawah dan ada pula hiasan daun
tumpang tindih.
Mihrab berdiri di atas pondasi padat dengan ketinggian 90 cm. Ruangan
berukuran 196 × 90 cm, lantainya dari ubin dan tingginya 2 cm lebih
tinggi dan lantai masjid. Tinggi bagian muka 206 cm dan tinggi bagian
belakang 106 cm. Dinding mihrab berwarna kuning tanpa jendela. Bagian
muka terdapat dua buah tiang semu di kiri dan dua buah di kanan
berbentuk balok. Tiang berdin di atas pelipit rata yang mengelilingi
seluruh ruangan masjid. Tinggi tiang semu 162 cm. Di atas tiang tersebut
terdapat pelipit rata dan setengah lingkaran. Badan mihrab mempunyai
hiasan berupa bingkai rata yang letaknya 167 cm dari lantai serambi.
Atap mihrab berbentuk setengah lingkaran dan di mukanya terdapat bingkai
setengah lingkaran yang disangga oleh kedua tiang semu.
Mimbar Masjid Agung Banten letaknya satu meter dari dinding barat, dan
pada pondasi padat setinggi 90 cm. Bentuk pondasi empat persegi panjang
berukuran 385 × 194 cm. Bagian bawah terdapat dua buah lubang arah
utara selatan. Tangga terdapat di muka dan terdin anak tangga. Diujung
bawah tangga terdapat batu hitam bentuknya seperti pot bunga. Mimbar
berdenah empat persegi panjang berukuran 93 × 170 cm dengan dinding di
sisi utara, barat, dan selatan. Di depan dinding utara dan selatan
terdapat pipi dinding tubuh yang berhiaskan bingkai. Dalam mimbar
terdapat tempat duduk dengan injakan kaki setinggi 16 cm. Pada sisi luar
dinding tubuh mihrab terdapat hiasan dalam bidang segi empat sebanyak
tiga buah di sisi utara selatan. Dinding bagian bawah berisi teratai
mekar, tengah motif bingkai cermin, dan bagian atas berisi motif oval
yang di dalamnya ada lubang berbentuk daun semanggi. Pada setiap sudut
panil terdapat hiasan daun yang diapit oleh semacam lukisan binatang. Di
atas panil terdapat susunan pelipit dan di atas pelipit tersebut
terdapat bidang persegi panjang di sisi utara, timur, dan barat, serta
berhiaskan pilin ganda dengan posisi saling berhadapan, bunga, dan
daun-daunan. Pada bagian atas muka mimbar terdapat penampil berbentuk
lengkung di sisi timur dan di dalamnya ada tulisan Arab.
- Masjid Sultan Suriansyah
Masjid Sultan Suriansyah bisa menjadi nilai tambah tersendiri ketika mengunjungi
Pasar Terapung Kuin di Sungai Barito. Masjid yang terletak di tepian
Sungai Kuin ini memang searah dengan Pasar Terapung Kuin jika kita
berangkat dari Kota Banjarmasin. Jadi tidak akan rugi kalau sekali
mendayung tiga pulau terlampaui kan? Masjid ini menurut catatan sejarah
dibangun di era Kerajaan Banjar di masa pemerintahan Sultan Suriansyah
(1526-1550). Beliau adalah Raja Banjar pertama yang menganut agama
Islam. Diperkirakan usia masjid ini sudah mencapai angka 450 tahun dan
termasuk salah satu masjid tertua di Indonesia.
Masjid ini dibangun dengan gaya arsitektur tradisional khas Banjar.
Konstruksinya serupa rumah panggung dengan atap tumpang. Di berbagai
sudut bangunan kita juga dapat melihat ornamen-ornamen ukiran khas
Banjar menghias dengan indah. Jika diperhatikan sekilas, konstruksi
masjid ini mirip dengan Masjid Agung Demak. Hal itu mungkin karena dalam
perjalanan sejarahnya Kerajaan Banjar pernah mendapatkan bantuan dari
Kerajaan Demak dalam peperangan melawan Kerajaan Daha. Inilah awal
masuknya Islam ke Kerajaan Banjar.
Arsitektur, ornamen, ukiran, sampai warna yang khas memang membuat
masjid ini sangat unik. Apalagi ditambah dengan nilai sejarah yang
terkandung di dalamnya, masjid ini sangat layak untuk dikunjungi. Sayang
sekali dalam kunjungan ke sini saya tidak sempat melihat-lihat ke
bagian dalam karena waktu itu saya perhatikan belum ada penjaganya yang
membuat saya agak ragu untuk melangkah ke dalam. Namun menyaksikan dari
luar saja sudah merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan bagi saya
dapat menyaksikan salah satu saksi bisu perjalanan bangsa ini.
- Masjid Menara Kudus
Meskipun kudus sering diidentikkan sebagai kota kretek, namun
masyarakatnya lebih bangga menjadikan Masjid menara kudus sebagai
simbol atau ikon kota kudus. Masyarakat kudus sangat bangga terhadap
masjid peninggalan Syekh Jafar Sodiq ini.
Masjid ini didirikan pada tahun 1549 M atau 956 H. pendirinya adalah
syekh jafar sodiq yang lebih dikenal sebagai Sunan Kudus. Batu pertama
yang diletakan untuk membuat masjid ini didatangkan dari baitul maqdis
atau palestina. Sejarah berdirinya masjid menara kudus terbukti sangat
jelas dengan prasasti berbahasa arab yang menerangka empat hal yaitu
masjid berdiri pada tahun 956H, pendirinya ja’far sodiq, bernama al
aqsa, dan di daerah al quds. Sayangnya, tulisan pada inskripsi itu sudah
sulit dibaca karena banyak huruf yang rusak. Konon, batu inskripsi
itulah yang dibawa oleh Sunan Kudus dari Yerusalem. Lebarnya 30
sentimeter dan panjangnya 46 sentimeter.
Denys Lombard pernah menulis bahwa Kota
Kudus mengambil nama dari Al-Quds, nama lain dari Yerusalem yang artinya
kota suci. Di kota inilah Masjid Menara Kudus berdiri. Keberadaannya
melambangkan secara visual peralihan kepercayaan masyarakat dari
Hindu-Buddha ke Islam.
Ada pula yang berpendapat, beberapa gapura di sekitar menara yang bentuknya mirip bangunan kulkul di Bali, mengindikasikan menara itu tidak hanya dipengaruhi candi-candi di Jawa Timur. Di dalam kulkul terdapat kentungan yang dipukul untuk menyampaikan informasi kepada penduduk sekitar.
Hal yang sama juga terdapat di Menara Kudus. Di bagian atas menara ini, diletakkan bedug dan kentungan yang dipukul sebagai tanda datangnya waktu-waktu tertentu. Pendapat yang kedua ini menegaskan bahwa Menara Kudus terpengaruh oleh arsitektur Hindu Bali.
Bangunan menara, sebagai salah satu elemen yang menonjol, mengadopsi model bangunan ibadah umat Hindu dan Budha. Bangunan menara, tersusun dari batu bata dengan bagian kepala menara berbentuk atap tumpang atau tajuk dari kayu jati dengan empat saka guru. Dibagian atas menara, diletakkan bedug dan kentongan sebagai pertanda waktu dan even tertentu. Nah, di Kudus dikenal tradisi “dandangan”, sebuah tradisi menandai diawalinya puasa Ramadhan dan pada saat itulah bedug dan kentongan itu dibunyikan.
- Masjid Sunan Ampel
Berbicara sejarah masjid tentu tidak akan luput dari Masjid Sunan Ampel, Meningat penyebaran Islam di ranah Jawa dan Indonesia bermuara dari Masjid yang terletak di Jawa Timur ini.
Masjid Ampel terletak di tengah jantung kampung Arab. Tepat di sebelah
utara Jl. Nyamplungan dan tepat di belokan kiri kedua Jl. Sasak.
Keramaian tukang becak yang setia mengantar para peziarah akan mudah
dijumpai di sepanjang jalan menuju masjid.
Memasuki gapura Jl. Ampel Suci masuk ke areal masjid, Anda akan disambut dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan beraneka barang sebut saja seperti parfum, sarung, peci, dan berbagai perlengkapan ibadah umat muslim. Tak ketinggalan para pengemis yang meminta sedekah dari para peziarah.
Masjid ini adalah masjid yang paling terkenal dan suci bagi umat Muslim di Surabaya, setelah Masjid Akbar Surabaya. Tepat di belakang masjid, adalah kompleks makam dari Sunan Ampel yang meninggal pada 1481. Sunan Ampel adalah salah satu wali songo yang berjasa menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Memasuki gapura Jl. Ampel Suci masuk ke areal masjid, Anda akan disambut dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan beraneka barang sebut saja seperti parfum, sarung, peci, dan berbagai perlengkapan ibadah umat muslim. Tak ketinggalan para pengemis yang meminta sedekah dari para peziarah.
Masjid ini adalah masjid yang paling terkenal dan suci bagi umat Muslim di Surabaya, setelah Masjid Akbar Surabaya. Tepat di belakang masjid, adalah kompleks makam dari Sunan Ampel yang meninggal pada 1481. Sunan Ampel adalah salah satu wali songo yang berjasa menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Menurut Encyclopedia Van
Nedelandesh Indie, beliau datang dari Champa, negeri yang terletak di
Kamboja. Tapi, menurut Raffles, Champa terletak di Aceh yang kini
bernama Jeumpa. Menurut silsilah, Sunan Ampel merupakan anak dari
Maulana Malik Ibrahim, sementara kakek beliau berasal dari Samarkand,
Uzbekistan, Asia Tengah.
Masjid ini dibuat dengan kecermatan. Lima pintu gerbang mengelilingi masjid ini sebagai simbol Rukun Islam. Pintu gerbang pertama diberi nama "Gapura Munggah"
merupakan simbol Rukun Islam yang kelima yaitu Haji - wajib berhaji
jika mampu. Di dekat sini terdapat pasar yang mirip pasar seng di Arab.
Setelah melewati lorong pasar, sobat akan menemukan "Gapuro Poso" (puasa), menggambarkan kewajiban kaum muslim untuk berpuasa.
Melewati Gapuro Poso, sampailah di halaman masjid. Setelah menunaikan ibadah sholat, Gapuro Ngamal
akan bisa sobat temukan. Gapura ini mengingatkan umat muslim untuk
berzakat. Disini sobat bisa bersedekah untuk biaya perawatan masjid. Tak
jauh dari situ terlihat Gapuro Madep. Di bagian kanan gapura ini
terdapat makam Mbah Shanhaji yang dulunya menentukan kiblat masjid
Sunan Ampel. Makna gapura ini adalah pelaksanaan shalat lima waktu.
Terakhir, ketika memasuki makam, terdapat Gapuro Paneksen yang menggambarkan kalimat syahadat
Dinuqil dari beberapa sumber, Semoga bermanfaat
#Islamgram
#Islamgram
0 komentar:
Post a Comment