A. Definisi
Istilah Rasm al-Qur’an terdiri dari dua kata: rasm dan al-Qur’an. Rasm merupakan bentuk infinitif (al-mashdar) dari kata kerja rasama yarsamu, yang berarti menggambar atau melukis dan juga berarti bentuk tulisan. Dapat juga diartikan Al-Atsar, ‘alamah. Sedangkan al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Dengan perantara malaikat Jibril yang ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), mempelajarinya merupakan amal-ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup oleh surat an-Nass.
Rasm al-Qur’an berarti bentuk tulisan
al-Qur’an. Para ulama lebih cenderung
menamainya dengan istilah rasmul Mushaf. Ada
pula yang menyebut rasm al-Qur’an dengan rasm ‘Usmany dikarenakan istilah ini
lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf ‘Utsman, yaitu mushaf yang ditulis oleh
panitia empatyang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin
al-‘Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits yang ditulis dengan kaidah-kaidah
tertentu. Atau lebih hematnya, Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan
Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan.
B. Kaidah Rasm Qur’an (Utsmani)
Kaidah ini teringkas dalam enam kaidah[1];
- Al–Hadzf (membuang,menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَََآَ يها النا س ).
- Al-Ziyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
- Al-Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh (ائذن ).
- Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
- Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
- Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).
C. Susunan Ayat Dan
Surah Dalam Rasm Utsmani
Bahwa
berdasarkan Ijma dan nash-nash yang ada, susunan surat dan ayat dalam al-Qur'an adalah
tawqifi. Ijma' tentang urutan ayat dan surat
ini telah dinukil oleh sebagian besar ulama, diantaranya adalah Az-Zarkasyi
dalam kitab "Al-Burhan", dan Abu Ja'far bin Zubair dalam kitab
"Al-Munasabat"
Sedangkan
dari nash diantaranya adalah hadits riwayat Zaid bin Tsabit, ia berkata:
كنا نؤلفُ القرآن من الرِّقاع
"Kami menulis al-quran dari riqa', yakni mengumpulkannya untuk menertibkannya"
Dan
banyak hadits-hadits lain yang menjelaskan. Nama surat juga tawqifi. Dalilnya ialah hadits
Muslim dari Abuh Hurairah:
ان البيت الذى تقرأ فيه البقرة لا يدخله
شيطان
"Sesungguhnya rumah yang dibacakan surat al-Baqarah tidak akan kemasukan syetan". (HR. Muslim)
Ulama
yang mengatakan bahwa urutan surah bukan tawqifi, tetapi hasil ijtihad para
sahabat menggunakan dalil dari hadits riwayat Muslim dari Hudzaifah yang
menceritakan bahwa Rasulullah SAW dalam sebuah shalat pada rakaat pertama
membaca surat An Nisa dan pada rakaat kedua membaca surat Ali Imran. Ini
membuktikan bahwa urutan surat
dalam al-Qur'an adalah hasil ijtihad para sahabat, seperti yang dikatakan
al-Qadli 'Iyadl.
D.
Pendapat Ulama Tentang Rasm Al-Qur’an
Para ulama
berbeda pendapat mengenai status rasm al-Qur’an (tata-cara penulisan
al-Qur’an):
a.
Sebagian dari mereka
berpendapat bahwasanya Rasm ‘ustmani itu bersifat tauqifi yakni bukan produk
budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja ketika menulis al-Qur’an dan harus
sungguh disucikan. dengan kata lain mereka bahkan sampai pada tingkat
menyakrakalnya. Mereka berargumen, bahwa Nabi SAW memiliki para penulis, yang
bertugas menulis wahyu. Secara praktis, mereka menulis dengan rasm ini, dan hal
itu mendapatkan pengakuan dari Nabi SAW, setalah masa Nabi berlalu, al-Qur’an
masih ditulis seperti itu, tak mengalami perubahan dan pergantian. Untuk
mendapatkan ini, mereka merujuk kepada sebuah riwayat yang menginformasikan
bahwa Nabi meletakkan undang-undang yang bekenaan dengan wahyu, baik berkenaan
dengan rasm ataupun lainnya , yang disampaikan kepada Mu’awiyah, salah seorang
sekretarisnya.
الق
الدواة، وحرّف القلم، وانصب الياء، وفرّق السين، ولاتعوّرالميم، وحسّن الله،
ومدّالرّحمن، وجوّدالرّحيم، وضع قلمك على أذنك اليسرى، فإنّه أذكر لك
Artinya:
“Letakkanlah tinta, pergunakan pena, tegakkan”ba”, bedakan”sin”, jangan kamu miringkan “mim”, buat baguslah (tulisan) “Allah”, panjangkan (tulisan) “ar-Rahman”, dan buatlah bagus (tulisan) “ar-Rahim” dan letakkanlah penamu diatas telinga kirimu, karena itu akan membuat kamu lebih ingat” .
“Letakkanlah tinta, pergunakan pena, tegakkan”ba”, bedakan”sin”, jangan kamu miringkan “mim”, buat baguslah (tulisan) “Allah”, panjangkan (tulisan) “ar-Rahman”, dan buatlah bagus (tulisan) “ar-Rahim” dan letakkanlah penamu diatas telinga kirimu, karena itu akan membuat kamu lebih ingat” .
Mereka pun mengutip pernyataan Ibn
al-Mubarak,
“Para sahabat dan orang lain tidak campur tangan seujung rambut pun dalam penulisan al-Qur’an, karena penulisan al-Qur’an adalah tauqifi, ketentuan dari nabi. Beliaulah yang menyuruh mereka menulisnya seprti dalam bentuknya yang dikenal, dengan menambah alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak dapat terjangkau oleh akal Misalnya, penambahan huruf ya’ pada kata iadin yang terdapat :”والسّمَاء بنينها بأيدٍ”(Q.S. 51:47). Itulah salah satu rahasia Allah yang diberikan kepada kitab-kitab-Nya yang mulia, yang tidak Dia berikan kepada kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana susunan al-Qur’an adalah mukjizat, maka penulisannya pun juga mukjizat”.
“Para sahabat dan orang lain tidak campur tangan seujung rambut pun dalam penulisan al-Qur’an, karena penulisan al-Qur’an adalah tauqifi, ketentuan dari nabi. Beliaulah yang menyuruh mereka menulisnya seprti dalam bentuknya yang dikenal, dengan menambah alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak dapat terjangkau oleh akal Misalnya, penambahan huruf ya’ pada kata iadin yang terdapat :”والسّمَاء بنينها بأيدٍ”(Q.S. 51:47). Itulah salah satu rahasia Allah yang diberikan kepada kitab-kitab-Nya yang mulia, yang tidak Dia berikan kepada kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana susunan al-Qur’an adalah mukjizat, maka penulisannya pun juga mukjizat”.
b.
Pendapat kedua yaitu mereka
yang berpendapat bahwa rasm al-Qur’an itu bukan tauqifi, bukan ketetapan Nabi.
Rasm Utsmani itu suatu cara penulisan yang disetujui oleh khalifah Utsman Ibn
Affan dan diterima umat Islam dengan baik. Karenanya, menjadi keharusan yang
wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Pendapat ini dipelopori
oleh Qadhi Abu Bakar al-Baqilani. Pendapatnya antara lain terlihat dalam
bukunya al-Inthishar, bahwa mengenai tulisan al-Qur’an, Allah sama sekali tidak
mewajibkan kepada umat Islam dan tidak melarang para penulis al-Qur’an
menggunakan rasm selain itu (Utsman). Apa yang dikatakan kewajiban itu hanya
diketahui dari berita-berita yang didengar. “Kewajiban” itu tidak terdapat
dalam nash al-Qur’an, dan tidak ada pula pengertian yang mengisyaratkan bahwa
rasm al-Qur’an dan pencatatannya hanya boleh dilakukan dengan bentuk khusus
atau dengan cara tertentu yang tidak boleh ditinggalkan. Tidak ada nash Hadits
khusus yang mewajibkan dan meng demikian pula syaratkan hal itu. Demikian pula
dengan ijma’ul unmmah (kebulatan pendapat umat islam). Bahkan sunah Rasullullah
menunjukkan dibolehkannya penulisan al-Qur’an dengan rasm yang paling mudah.
beliau memerintahkan penulisannya tanpa menjelaskan bentuk tulisan (rasm)
tertentu, dan beliau tidak melarang siapa pun menulis al-Qur’an. Karena itulah
sehingga bentuk tulisan mushaf berbeda-beda. Karena itu boleh saja al-Qur’an
ditulis dengan huruf kufiy. Boleh saja huruf laam ditulis mirip huruf kaaf,
huruf alif dibengkokokan penulisanya, atau ditulis dengan bentuk-bentuk huruf
yang lain. Jadi, menurut pendapat kedua ini al-Qur’an boleh saja ditulis dengan
tulisan dan huruf hija zaman kuno, dan boleh juga ditulis dengan huruf hija dan
bentuk tulisan yang sudah diperbarui.
Pendapat pertama mengandung penghormatan
kepada Rasm Utsman yang berlebih-lebihan, karena mengada-ngadakan pengertian
dengan cara dipaksa-paksakan dan hanya berlandaskan pada emosi. Atas dorongan
perasaan sufisme mereka menyerahkan persoalan pada selera batin, padahal selera
adalah nisbi (relatif), tidak ada kaitanya dengan agama dan tidak bisa
dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan tentang kebenaran hukum syara’. Tidak
logislah bila dikatakan bahwa soal rasm (huruf dan tulisan) Qur’an itu tauqif,
yakni atas tuntutan, petunjuk dan persetujuan langsung dari Rasullullah SAW.
Beliau pun tidak pernah sama sekali menyatakan adanya rahasia di dalam
kandungan huruf-huruf terpisah yang mengawali surah-surah. Hadits Rasullullah
mengenai hal tersebut perlu diteliti kebenarannya.
Yang benar ialah bahwa penulis mushaf
(panitia empat) sepakat menggunakan istilah rasm al-Qur’an. Dan istilah itu
disetujui khalifah, bahkan khalifah Utsman menetapkan pedoman yang harus
diindahkan oleh para penulis mushaf bila terjadi perbedaan pendapat.
Subhi as-Shalih tidak sepakat dengan
pendapat kedua yang dilontarkan oleh Al-Baqilani. Tentang kebolehan menulis
al-Qur’an dengan rasm kuno, namun ia sepakat dengan pendapat Al-‘Izz Bin
‘Abdus-Salam yang mengatakan bahwa dewasa ini penulisan mushaf tidak boleh
berdasarkan rasm kuno yang telah disepakati oleh para imam masa dulu, agar
tidak mengakibatkan hilangnya ilmu-ilmu agama Islam. Ini berarti a-Qur’an
seharusnya ditulis dengan cara yang lazim dikenal pada zamanya. Bukan berarti
rasm usmani yang lama harus ditiadakan. Jika ditiadakan, hal ini akan merusak
lambang keagamaan besar yang telah disepakati bulat oleh seluruh umat islam,
yang dapat menyelamatkan umat daari perpecahan, karena mushaf Utsman merupakan
salah satu cara untuk memelihara persatuan dan kesatuan umat Islam atas dasar
satu syiar dan satu istilah.
Mushaf-mushaf yang dikirim Utsman ke seluruh
penjuru negeri yang disebut sebagai rasm utsmani, adalah mushaf yang wajib
diikuti berdasar kesepakatan para ulama, meskipun kita tidak begitu mengerti
apa hikmah dibalik perbedaan metode penulisan Rasm Utsmani dengan kaidah-kaidah
penulisan dalam bahasa Arab. Hukum wajib ini bukan tanpa alasan. Menurut
sebagian ulama rasm utsmani telah disepaki oleh 12000 sahabat. Kesepakatan ini
menjadikan sebuah kewajiban bagi kita untuk ittiba'. Rasulullah SAW
memerintahkan kita berpegang teguh terhadap sunnah beliau dan sunnah-sunnah
khulafa'ur Rasyidin.
Imam Al-Baihaqi dalam kitab haditsnya
"Syu'bul Iman", mengatakan bahwa hendaknya kita membaca dan menulis
Al-Qur'an sesuai dengan apa yang telah ditulis para sahabat. Karena mereka
lebih banyak ilmunya, lebih benar hati dan lisannya, dan lebih besar amanahnya.
Syeikh Abduraahman bin Al-Qadli al-Magrabi
mengatakan bahwa hukum menulis al-Qur'an tidak sesuai dengan rasm utsmani
adalah haram. Alasan yang dijadikan dalil memperbolehkan penulisan Al-Qur'an
yang tidak sesuai dengan rasm utsmani berupa ketidak mengertian kalangan awam
atas rasm utsmani dan akan mengakibatkan mereka keliru dalam membaca al-Qur'an
dan alasan-alasan yang lain, adalah alasan yang tidak dapat diterima karena ini
bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sebagian besar sahabat dan
para ulama sesudahnya.
Jika ditanya, mengapa kita tidak memakai
mushaf Abu Bakar saja, padahal mushaf tersebut ada sebelum mushaf utsman?
Jawabannya adalah bahwa mushaf Abu Bakar mengumpulkan ketujuh wajah qira'ah di
mana di dalam penulisannya mengakibatkan adanya perbedaan antar satu qira'ah
dengan qari'ah yang lain, untuk menghindari kerancuan. Lagi pula mushaf Abu
Bakar telah sirna karena ikut tercuci saat Hafshah binti Umar ummul mukminin
meninggal. Sedangkan mushaf utsman dinukil dari mushaf Abu Bakar yang hanya
menuliskan satu qiraah yakni qiraah dengan dialek bahasa bangsa Quraisy.
E.
Usaha Ulama dalam
menerjemahkan Gaya Penulisan Mushaf
Banyak para ulama yang berusaha
menerjemahkan gaya
penulisan mushaf utsmani yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan arab yang baku. Banyak alasan-alasan
dan hikmah-hikmah yang mereka kemukakan dibalik tulisan mushaf itu. Namun hal
ini hanya sebagai penghibur dan pemanis, karena alasan-alasan dan hikmah itu
diciptakan jauh sesudah para sahabat wafat, dimana mereka meninggalkan rasm
yang tidak diketahui hikmahnya dan tidak dipahami petunjuknya, tanpa memandang
alasan-alasan nahwiyah atau sharfiyah yang sudah tercipta. Diantara
hikmah-hikmah itu ialah:
- Pembuangan alif dalam بسم الله adalah untuk mempermudah dan meringankan, karena sering digunakan. Ada yang mengatakan bahwa karena alif dibuang maka sebagai petunjuk pembuangan alif, awal penulisan ba' dibuat panjang.
- Pembuangan wawu pada ayat يمح الله الباطل berfungsi sebagai petunjuk akan cepat hilangnya kebatilah.
- Penambahan ya' pada والسماء بنينها بإييد berfungsi untuk membedakan lafadz أيدي yang bermakna kekuatan dan yang bermakna tangan.
- Penambahan Alif pada لا اذبحنه berfungsi sebagai petunjuk bahwa penyembelihan tidak terjadi, seolah-olah لا dalam ayat itu adalah nafiyah.
F.
Penambahan Titik dan
Harokat
Titik dan harokat pada zaman sebelum Islam
tidak dikenal, begitu pula saat munculnya rasm utsmani. Ketika agama Islam
tersebar bukan hanya ke wilayah Arab saja, maka terjadi kesalahan dalam
pembacaan al-Qur'an oleh orang-orang non Arab. Orang yang memprakarsai pertama
kali penambahan harokat, titik, tanda waqaf dan tanda-tanda yang lain seperti
yang kita kenal saat ini adalah Gubernur Mekah Al-Hajjaj Yusuf Ats Tsaqafi,
gubernur dzalim pada zaman khalifah Abbasiyah Abdul Malik bin Marwan. Dialah
yang telah membunuh banyak ulama dan sahabat dan menghancurkan Ka'bah.
0 komentar:
Post a Comment