Tuesday, July 30, 2013

Filled Under:

Rasm al-Qur'an



A. Definisi
Istilah Rasm al-Qur’an terdiri dari dua kata: rasm dan al-Qur’an. Rasm merupakan bentuk infinitif (al-mashdar) dari kata kerja rasama yarsamu, yang berarti menggambar atau melukis dan juga berarti bentuk tulisan. Dapat juga diartikan Al-Atsar, ‘alamah. Sedangkan al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Dengan perantara malaikat Jibril yang ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), mempelajarinya merupakan amal-ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup oleh surat an-Nass.
Rasm al-Qur’an berarti bentuk tulisan al-Qur’an. Para ulama lebih cenderung menamainya dengan istilah rasmul Mushaf. Ada pula yang menyebut rasm al-Qur’an dengan rasm ‘Usmany dikarenakan istilah ini lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf ‘Utsman, yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empatyang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits yang ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Atau lebih hematnya, Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan.







B.     Kaidah Rasm Qur’an (Utsmani)

Kaidah ini teringkas dalam enam kaidah[1];
  1. Al–Hadzf (membuang,menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَََآَ يها النا س ).
  2. Al-Ziyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
  3. Al-Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh (ائذن ).
  4. Badal (penggantian),  seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
  5. Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
  6. Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).


C.    Susunan Ayat Dan Surah Dalam Rasm Utsmani

Bahwa berdasarkan Ijma dan nash-nash yang ada, susunan surat dan ayat dalam al-Qur'an adalah tawqifi. Ijma' tentang urutan ayat dan surat ini telah dinukil oleh sebagian besar ulama, diantaranya adalah Az-Zarkasyi dalam kitab "Al-Burhan", dan Abu Ja'far bin Zubair dalam kitab "Al-Munasabat"
Sedangkan dari nash diantaranya adalah hadits riwayat Zaid bin Tsabit, ia berkata:

كنا نؤلفُ القرآن من الرِّقاع

"Kami menulis al-quran dari riqa', yakni mengumpulkannya untuk menertibkannya"

Dan  banyak hadits-hadits lain yang menjelaskan. Nama surat juga tawqifi. Dalilnya ialah hadits Muslim dari Abuh Hurairah:

ان البيت الذى تقرأ فيه البقرة لا يدخله شيطان

"Sesungguhnya rumah yang dibacakan surat al-Baqarah tidak akan kemasukan syetan". (HR. Muslim)

Ulama yang mengatakan bahwa urutan surah bukan tawqifi, tetapi hasil ijtihad para sahabat menggunakan dalil dari hadits riwayat Muslim dari Hudzaifah yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW dalam sebuah shalat pada rakaat pertama membaca surat An Nisa dan pada rakaat kedua membaca surat Ali Imran. Ini membuktikan bahwa urutan surat dalam al-Qur'an adalah hasil ijtihad para sahabat, seperti yang dikatakan al-Qadli 'Iyadl.



D.    Pendapat Ulama Tentang Rasm Al-Qur’an
Para ulama berbeda pendapat mengenai status rasm al-Qur’an (tata-cara penulisan al-Qur’an):
a.       Sebagian dari mereka berpendapat bahwasanya Rasm ‘ustmani itu bersifat tauqifi yakni bukan produk budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja ketika menulis al-Qur’an dan harus sungguh disucikan. dengan kata lain mereka bahkan sampai pada tingkat menyakrakalnya. Mereka berargumen, bahwa Nabi SAW memiliki para penulis, yang bertugas menulis wahyu. Secara praktis, mereka menulis dengan rasm ini, dan hal itu mendapatkan pengakuan dari Nabi SAW, setalah masa Nabi berlalu, al-Qur’an masih ditulis seperti itu, tak mengalami perubahan dan pergantian. Untuk mendapatkan ini, mereka merujuk kepada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi meletakkan undang-undang yang bekenaan dengan wahyu, baik berkenaan dengan rasm ataupun lainnya , yang disampaikan kepada Mu’awiyah, salah seorang sekretarisnya.
الق الدواة، وحرّف القلم، وانصب الياء، وفرّق السين، ولاتعوّرالميم، وحسّن الله، ومدّالرّحمن، وجوّدالرّحيم، وضع قلمك على أذنك اليسرى، فإنّه أذكر لك
Artinya:
“Letakkanlah tinta, pergunakan pena, tegakkan”ba”, bedakan”sin”, jangan kamu miringkan “mim”, buat baguslah (tulisan) “Allah”, panjangkan (tulisan) “ar-Rahman”, dan buatlah bagus (tulisan) “ar-Rahim” dan letakkanlah penamu diatas telinga kirimu, karena itu akan membuat kamu lebih ingat” .
Mereka pun mengutip pernyataan Ibn al-Mubarak,
“Para sahabat dan orang lain tidak campur tangan seujung rambut pun dalam penulisan al-Qur’an, karena penulisan al-Qur’an adalah tauqifi, ketentuan dari nabi. Beliaulah yang menyuruh mereka menulisnya seprti dalam bentuknya yang dikenal, dengan menambah alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak dapat terjangkau oleh akal Misalnya, penambahan huruf ya’ pada kata iadin yang terdapat :والسّمَاء بنينها بأيدٍ”(Q.S. 51:47). Itulah salah satu rahasia Allah yang diberikan kepada kitab-kitab-Nya yang mulia, yang tidak Dia berikan kepada kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana susunan al-Qur’an adalah mukjizat, maka penulisannya pun juga mukjizat”.
b.      Pendapat kedua yaitu mereka yang berpendapat bahwa rasm al-Qur’an itu bukan tauqifi, bukan ketetapan Nabi. Rasm Utsmani itu suatu cara penulisan yang disetujui oleh khalifah Utsman Ibn Affan dan diterima umat Islam dengan baik. Karenanya, menjadi keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Pendapat ini dipelopori oleh Qadhi Abu Bakar al-Baqilani. Pendapatnya antara lain terlihat dalam bukunya al-Inthishar, bahwa mengenai tulisan al-Qur’an, Allah sama sekali tidak mewajibkan kepada umat Islam dan tidak melarang para penulis al-Qur’an menggunakan rasm selain itu (Utsman). Apa yang dikatakan kewajiban itu hanya diketahui dari berita-berita yang didengar. “Kewajiban” itu tidak terdapat dalam nash al-Qur’an, dan tidak ada pula pengertian yang mengisyaratkan bahwa rasm al-Qur’an dan pencatatannya hanya boleh dilakukan dengan bentuk khusus atau dengan cara tertentu yang tidak boleh ditinggalkan. Tidak ada nash Hadits khusus yang mewajibkan dan meng demikian pula syaratkan hal itu. Demikian pula dengan ijma’ul unmmah (kebulatan pendapat umat islam). Bahkan sunah Rasullullah menunjukkan dibolehkannya penulisan al-Qur’an dengan rasm yang paling mudah. beliau memerintahkan penulisannya tanpa menjelaskan bentuk tulisan (rasm) tertentu, dan beliau tidak melarang siapa pun menulis al-Qur’an. Karena itulah sehingga bentuk tulisan mushaf berbeda-beda. Karena itu boleh saja al-Qur’an ditulis dengan huruf kufiy. Boleh saja huruf laam ditulis mirip huruf kaaf, huruf alif dibengkokokan penulisanya, atau ditulis dengan bentuk-bentuk huruf yang lain. Jadi, menurut pendapat kedua ini al-Qur’an boleh saja ditulis dengan tulisan dan huruf hija zaman kuno, dan boleh juga ditulis dengan huruf hija dan bentuk tulisan yang sudah diperbarui.

Pendapat pertama mengandung penghormatan kepada Rasm Utsman yang berlebih-lebihan, karena mengada-ngadakan pengertian dengan cara dipaksa-paksakan dan hanya berlandaskan pada emosi. Atas dorongan perasaan sufisme mereka menyerahkan persoalan pada selera batin, padahal selera adalah nisbi (relatif), tidak ada kaitanya dengan agama dan tidak bisa dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan tentang kebenaran hukum syara’. Tidak logislah bila dikatakan bahwa soal rasm (huruf dan tulisan) Qur’an itu tauqif, yakni atas tuntutan, petunjuk dan persetujuan langsung dari Rasullullah SAW. Beliau pun tidak pernah sama sekali menyatakan adanya rahasia di dalam kandungan huruf-huruf terpisah yang mengawali surah-surah. Hadits Rasullullah mengenai hal tersebut perlu diteliti kebenarannya.
Yang benar ialah bahwa penulis mushaf (panitia empat) sepakat menggunakan istilah rasm al-Qur’an. Dan istilah itu disetujui khalifah, bahkan khalifah Utsman menetapkan pedoman yang harus diindahkan oleh para penulis mushaf bila terjadi perbedaan pendapat.
Subhi as-Shalih tidak sepakat dengan pendapat kedua yang dilontarkan oleh Al-Baqilani. Tentang kebolehan menulis al-Qur’an dengan rasm kuno, namun ia sepakat dengan pendapat Al-‘Izz Bin ‘Abdus-Salam yang mengatakan bahwa dewasa ini penulisan mushaf tidak boleh berdasarkan rasm kuno yang telah disepakati oleh para imam masa dulu, agar tidak mengakibatkan hilangnya ilmu-ilmu agama Islam. Ini berarti a-Qur’an seharusnya ditulis dengan cara yang lazim dikenal pada zamanya. Bukan berarti rasm usmani yang lama harus ditiadakan. Jika ditiadakan, hal ini akan merusak lambang keagamaan besar yang telah disepakati bulat oleh seluruh umat islam, yang dapat menyelamatkan umat daari perpecahan, karena mushaf Utsman merupakan salah satu cara untuk memelihara persatuan dan kesatuan umat Islam atas dasar satu syiar dan satu istilah.
Mushaf-mushaf yang dikirim Utsman ke seluruh penjuru negeri yang disebut sebagai rasm utsmani, adalah mushaf yang wajib diikuti berdasar kesepakatan para ulama, meskipun kita tidak begitu mengerti apa hikmah dibalik perbedaan metode penulisan Rasm Utsmani dengan kaidah-kaidah penulisan dalam bahasa Arab. Hukum wajib ini bukan tanpa alasan. Menurut sebagian ulama rasm utsmani telah disepaki oleh 12000 sahabat. Kesepakatan ini menjadikan sebuah kewajiban bagi kita untuk ittiba'. Rasulullah SAW memerintahkan kita berpegang teguh terhadap sunnah beliau dan sunnah-sunnah khulafa'ur Rasyidin.
Imam Al-Baihaqi dalam kitab haditsnya "Syu'bul Iman", mengatakan bahwa hendaknya kita membaca dan menulis Al-Qur'an sesuai dengan apa yang telah ditulis para sahabat. Karena mereka lebih banyak ilmunya, lebih benar hati dan lisannya, dan lebih besar amanahnya.
Syeikh Abduraahman bin Al-Qadli al-Magrabi mengatakan bahwa hukum menulis al-Qur'an tidak sesuai dengan rasm utsmani adalah haram. Alasan yang dijadikan dalil memperbolehkan penulisan Al-Qur'an yang tidak sesuai dengan rasm utsmani berupa ketidak mengertian kalangan awam atas rasm utsmani dan akan mengakibatkan mereka keliru dalam membaca al-Qur'an dan alasan-alasan yang lain, adalah alasan yang tidak dapat diterima karena ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sebagian besar sahabat dan para ulama sesudahnya.
Jika ditanya, mengapa kita tidak memakai mushaf Abu Bakar saja, padahal mushaf tersebut ada sebelum mushaf utsman? Jawabannya adalah bahwa mushaf Abu Bakar mengumpulkan ketujuh wajah qira'ah di mana di dalam penulisannya mengakibatkan adanya perbedaan antar satu qira'ah dengan qari'ah yang lain, untuk menghindari kerancuan. Lagi pula mushaf Abu Bakar telah sirna karena ikut tercuci saat Hafshah binti Umar ummul mukminin meninggal. Sedangkan mushaf utsman dinukil dari mushaf Abu Bakar yang hanya menuliskan satu qiraah yakni qiraah dengan dialek bahasa bangsa Quraisy.




E.     Usaha Ulama dalam menerjemahkan Gaya Penulisan Mushaf
Banyak para ulama yang berusaha menerjemahkan gaya penulisan mushaf utsmani yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan arab yang baku. Banyak alasan-alasan dan hikmah-hikmah yang mereka kemukakan dibalik tulisan mushaf itu. Namun hal ini hanya sebagai penghibur dan pemanis, karena alasan-alasan dan hikmah itu diciptakan jauh sesudah para sahabat wafat, dimana mereka meninggalkan rasm yang tidak diketahui hikmahnya dan tidak dipahami petunjuknya, tanpa memandang alasan-alasan nahwiyah atau sharfiyah yang sudah tercipta. Diantara hikmah-hikmah itu ialah:
  1. Pembuangan alif dalam بسم الله adalah untuk mempermudah dan meringankan, karena sering digunakan. Ada yang mengatakan bahwa karena alif dibuang maka sebagai petunjuk pembuangan alif, awal penulisan ba' dibuat panjang.
  2. Pembuangan wawu pada ayat يمح الله الباطل berfungsi sebagai petunjuk akan cepat hilangnya kebatilah.
  3. Penambahan ya' pada والسماء بنينها بإييد berfungsi untuk membedakan lafadz أيدي  yang bermakna kekuatan dan yang bermakna tangan.
  4. Penambahan Alif pada لا اذبحنه berfungsi sebagai petunjuk bahwa penyembelihan tidak terjadi, seolah-olah لا dalam ayat itu adalah nafiyah.
F.     Penambahan Titik dan Harokat
Titik dan harokat pada zaman sebelum Islam tidak dikenal, begitu pula saat munculnya rasm utsmani. Ketika agama Islam tersebar bukan hanya ke wilayah Arab saja, maka terjadi kesalahan dalam pembacaan al-Qur'an oleh orang-orang non Arab. Orang yang memprakarsai pertama kali penambahan harokat, titik, tanda waqaf dan tanda-tanda yang lain seperti yang kita kenal saat ini adalah Gubernur Mekah Al-Hajjaj Yusuf Ats Tsaqafi, gubernur dzalim pada zaman khalifah Abbasiyah Abdul Malik bin Marwan. Dialah yang telah membunuh banyak ulama dan sahabat dan menghancurkan Ka'bah.

0 komentar:

Post a Comment