Sunday, March 1, 2015

Filled Under:

KH. Wahid Hasyim, Motor Pembaharu

 
Nama KH. A. Wahid Hasyim mungkin tidaklah setenar Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, ataupun Muh. Yamin. Bahkan bagi masyarakat kekinian, Mungkin nama putra beliaulah yang mungkin lebih masyhur, al-Maghfurlah KH. Abdur Rahman Wahid (Gus Dur). Jika menengok ke sejarah bangsa ini sumbangsih Wahid Hasyim dalam membangun pondasi bangsa dan negara Indonesia tidaklah kalah dengan nama-nama diatas. Kiprahnya dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan juga Panitia Sembilan BPUPKI menjadi salah satu bukti jasa Wahid hasyim bagi bangsa Indonesia.

Sumbangsih pemikiran-pemikirannya di bidang politik dan kebangsaan menyebabkan tidak berlebihan kiranya jika Wahid Hasyim dapat digolongkan sebagai salah satu founding fathers bangsa Indonesia.
 
Namun, banyak orang yang tidak tahu – termasuk di kalangan nahdliyin sendiri, mungkin – bahwa sebenarnya Wahid Hasyim adalah juga seorang tokoh pendidikan. Bahkan, para pakar pendidikan pun jarang menyebut Wahid Hasyim sebagai salah satu tokoh penting dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Mereka lebih sering menyebut K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah) atau Abdullah Ahmad (pendiri Madrasah Adabiyyah di Minangkabau) sebagai tokoh pembaharu dunia pendidikan Indonesia.

Hal itu nampaknya didasari asumsi bahwa istilah “pembaharuan pendidikan” dianggap lebih identik dengan kaum modernis – yang direpresentasikan oleh Muhammadiyyah – dibandingkan dengan kalangan tradisionalis yang dalam hal ini diwakili oleh Nahdlatul Ulama. Bukan bermaksud membanding-bandingkan. Namun itulah sejarah yang ada.

Padahal, Jika menengok sejarah lebih detail A Wahid Hasyim pernah dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah, PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim juga kemudian duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia).

Para anggota MIAI adalah tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr.Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini dengansendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan.

Abdul Wahid Hasyim, adalah pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia. Ia adalah ayah dari presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid. Adalah anak kelima dari sepuluh bersaudara. Lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 dari pasangan K.H. Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti KH. Iyas.
 
Wahid Hasyim berasal dari keluarga yang taat beragama, keluarga pesantrern yang berpegang erat pada tradisi. Ia lahir, tumbuh dan dewasa dalam lingkungan pesantren. Nama ayahnya masyhur sebagai founding father Nahdlatul Ulama (NU), Ibunya bernama Nafiqah putri K.H. Ilyas pemimpin pesantren Sewulan di madiun. Garis keturunan ayah dan ibunya bertemu pada Lembu Peteng ( Brawijaya VI ), yaitu dari pihak ayah melalui Joko Tingkir ( Sultan Pajang 1569-1587 ) dan dari pihak ibu melalui Kiai Ageng Tarub I.

Meskipun ayahandanya, Hadratush syaikh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, butuh waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasjim untuk menimbang berbagai hal sebelum akhirnya memutuskan aktif di NU. Pada usia 25 tahun Wahid bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun kemudian Wahid menjadi ketua MIAI.

Antara umur 13 hingga 15 tahun, Wahid Hasyim berkelana dari satu pesantren ke pesantren yang lain untuk memperdalam wawasan ilmu keagamaannya. Namun, perhatian Wahid Hasyim tidak hanya terfokus pada pelajaran ilmu-ilmu Islam klasik semata. Pada tahun 1929, ia kembali ke Tebuireng dengan telah menguasai huruf Latin. Wahid Hasyim juga menguasai bahasa Melayu, Belanda, dan Inggris – di samping bahasa Arab – karena secara rutin berlangganan berbagai majalah seperti Penjebar Semangat, Daoelat Ra’jat, dan Pandji Poestaka.

Sepulang dari pesantren, KH Wahid Hasyim tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain, tetapi memilih tinggal di rumah. Oleh ayahnya, pilihan tinggal di rumah dibiarkan saja, karena KH Wahid Hasyim bisa menentukan sendiri bagaimana harus belajar. Benar juga, selama berada di rumah semangat belajarnya tidak pernah padam, terutama belajar secara otodidak.

Menurut cerita yang dituturkan kepada KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid Hasyim merupakan pelanggan tetap sebuah perpustakaan di kota Surabaya. Tidak seperti orang kebanyakan yang datang keperpustakaan dengan memilih judul yang telah disiapkan dari rumahnya, KH A. Wahid Hasyim membaca buku apa saja tanpa memilih judul. Mengambil secara berurutan, buku-buku yang tersusun di rak hingga seluruh buku habis dibacanya. Karenanya, tidaklah mengherankan jika KH A. Wahid Hasyim mengetahui pengetahuan umum di bidang sejarah, pengetahuan alam, filsafat, politik, ekonomi, seni budaya, dan lain-lainnya.

Pada usianya yang baru menginjak 17 tahun, Wahid Hasyim telah mengajar kitab Ad-Dararul Bahiyah dan Kaffrawi kepada para santri Tebuireng. Karena ghirah intelektualnya, Antara tahun 1932-1933, Wahid Hasyim menunaikan ibadah haji dan bermukim serta belajar selama setahun di Makkah. Pergaulannya dengan berbagai orang dari beragam negara yang bermukim di Makkah rupanya telah membuka cakrawalanya dalam berbagai bidang seperti agama, politik, budaya, dan pendidikan. Pengalaman di Mekkah ini lah yang memercikkan semangat pembaharuan dalam diri Wahid Hasyim.

Wahid Hasyim adalah sosok yang mewakili kalangan yang jarang sekali tersentuh oleh para peneliti. Hampir semua peneliti, terutama peneliti Barat, jatuh hati pada kelompok "modernis", yang dinilai dinamis, adaptif, pragmatis, dan sama sekali tidak bermusuhan dengan segalanya yang berpangkal dari Barat. Wahid Hasyim berasal dari kalangan "tradisionalis", yang menanggung sejumlah stereotipe-antara lain antiperubahan dan resisten terhadap pemikiran serta gagasan Barat.

Tidak banyak yang kemudian menyimak bahwa ia seorang tradisionalis yang berpikiran jauh ke depan. Wahid Hasyim seorang reformis properubahan; ia melontarkan gagasan yang sama sekali asing bagi lingkungan pesantren. Perubahan paling monumental di Pondok Pesantren.

Tebuireng terjadi ketika Wahid Hasyim kembali dari Mekah pada 1933. Ia mengajukan beberapa usul pembaruan dalam metode serta tujuan belajar di pesantren, dan pendirian madrasah.
 
Dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kecintaan Beliau juga tidak sekedar pada ilmu yang bersifat personal, melainkan aplikatifnya disetiap otoritas-otoritasnya. Sebelum, maupun saat menjabat menjadi menteri agama. Sehingga melalui otoritasnya, mampu mengangkat pendidikan pesantren yang selalu di anak tirikan dari pendidikan umum, sehingga kesan dikotomi-dualisme pendidikan sesaat mulai di patahkan melalui kebijakan-kebijakanya.

Diantara Pemikiran-pemikiran Wahid Hasyim dalam bidang pendidikan yang sampai saat ini masih kita rasakan manfaatnya (khusunya lembaga Islam) adalah sebagai berikut :

1)      Tentang Tujuan Pendidikan
Menurut beliau, tujuan pendidikan adalah untuk menggiatkan santri yang berahlakul karimah, takwa kepada Allah dan memiliki ketrampilan untuk hidup. Artinya dengan ilmu yang dimiliki ia mampu hidup layak di tengah masyarakat, mandiri, tidak jadi beban bagi orang lain. Santri yang tidak mempunyai ketrampilan hidup ia akan menghadapi berbagai problematika yang akan mempersempit perjalanan hidupnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan Wahid Hasyim bersifat Teosentris (Ketuhanan) sekaligus Antroposentris (kemanusiaan). Artinya bahwa pendidikan itu harus memenuhi antara kebutuhan duniawi dan ukhrowi, moralitas dan ahlak, dengan titik tekan pada kemampuan kognisi (iman), afeksi ( ilmu ) dan psikomotor ( amal, ahlak yang mulia).
2)      Pentingnya Penguasaan Iptek Bagi Santri
Sebagai seseorang yang terlahir dalam lingkungan pendidikan (pesantren), Wahid Hasyim sangat menyadari bahwa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Islam haruslah melalui pendidikan. Namun, Wahid Hasyim juga menyadari bahwa pendidikan agama saja tidaklah cukup. Harus pula diimbangi dengan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan “obsesi” Wahid Hasyim yang ingin mendudukkan kaum santri (pelajar Islam) dalam posisi yang sejajar dengan yang lainnya. Dia tidak ingin melihat santri dipandang sebagai “intelektual kelas dua” dan dianggap hanya bisa jadi modin/lebai oleh masyarakat.
3)      Santri Yang Mempunyai “Social Sense”.
Dalam pandangan Wahid Hasyim, tidak semua santri yang belajar di pesantren harus dan akan menjadi ulama semua. Seorang santri juga harus menguasai ilmu-ilmu umum sehingga mampu berkiprah di berbagai bidang dalam kehidupannya. Bahwa, seorang santri yang belajar di pesantren selain demi mencari ridho Allah, juga harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan berkiprah dalam kehidupannya di tengah masyarakat. Seorang santri, di samping harus bisa menjawab masalah-masalah keagamaan, juga harus bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat seperti kemiskinan dan kebodohan.
4)      Mengenalkan Istilah Pendidikan Kecakapan Hidup (Life skill)
Oleh karenanya, tidak seluruh santri di pesantren harus mempelajari bahasa Arab dan kitab-kitab kuning dengan terlalu intensif. Menurut Wahid Hasyim, hal tersebut dinilai memboroskan waktu saja karena pada akhirnya mereka tidak akan menjadi ulama semuanya. Pengajaran kitab-kitab kuning dalam bahasa Arab hendaknya terbatas bagi sejumlah kecil santri yang memang akan dididik untuk menjadi ulama. Seorang santri, dalam perspektif Wahid Hasyim, cukup mengikuti latihan kehidupan beberapa bulan di pesantren dan mempelajari Islam yang ditulis dalam kitab-kitab berbahasa Indonesia, kemudian sebagian besar waktunya digunakan untuk belajar berbagai pengetahuan dan keterampilan praktis. Konsep inilah yang pada saat ini dikenal dengan istilah life skill education (pendidikan kecakapan hidup). Dan, Wahid Hasyim-lah yang memperkenalkannya terlebih dahulu kepada dunia pendidikan Indonesia pada tahun 1930-an – jauh sebelum istilah tersebut ditemukan.Meskipun ide ini pada akhirnya tidak disetujui oleh K.H. Hasyim Asy’ari karena perubahan radikal seperti itu akan menciptakan kekacauan di antara sesama pemimpin pesantren, tetapi maksud di balik usul Wahid Hasyim ini dapat dipahami oleh KH. Hasyim Asy’ari.
5)      Makna Penting Perpustakaan
Wahid Hasyim sadar  betul bahwa kehadiran perpustakaan yang memadai adalah prasyarat mutlak untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Wahid Hasyim memandang perpustakaan bukan sebagai gudang tempat penyimpanan buku semata namun sebagai pusat ilmu pengetahuan



Rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" tidak terlepas dari peran seorang Wahid Hasjim. Wahid dikenal sebagai tokoh yang moderat, substantif, dan inklusif.

Wahid Hasyim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19 April 1953. Dalam usia yang relative muda (39 Tahun), Sepak terjang Wahid Hasyim dalam bidang politik dan pendidikan menjadi bukti bahwa ia adalah salah seorang motor pembaharuan Islam dengan pemikiran dan kecerdasannya begitu brilian.
 
 
Di sadur dari berbagai sumber
#Islamgram
 

0 komentar:

Post a Comment