Alkisah terjadi sebuah paceklik disebuah negeri. Kemarau dan
kelaparan melanda. Beberapa santri ber-inisiatif sowan kepada pak kyai
perihal ini. Pak kyai kemudian mengajak para santri untuk naik kesebuh bukit. Sebagai
santri yang taat, semua santri mengikuti instruksi pak kyai. Namun berbeda
dengan si fulan, ia terlihat dongkol.
“Sudah lapar, haus kita malah di suruh naik ke puncak
gunung, bagaimana pak kyai ini” gerutunya dalam hati.
Sampai diatas gunung, pak Kyai memerintahkan santrinya untuk
turun lagi.
“Ambil batu dari bawah sana, bawa naik ke sini, ambil yang
terbesar, sekuat kalian membawa.” Titah sang kyai, guru mereka.
Semua santri ridho dah iklas saja menerima titah tersebut,
sedangkan si fulan, masih saja ngedumel.
“Ini pak kyai gimana sih, udah sampai diatas disuruh turun
lagi, nggak sekalian tadi aja nyuruh mbawa batu nya.”
Akhirnya, si fulan tidak mengikuti titah pak kyai
sepenuhnya, ia hanya mengambil dan membawa batu kecil, capek. Sedangkan santri
lain dengan semangat membopong batu terbesar yang mampu mereka bawa meski dalam
keadaan lapar.
Sampai di atas gunung, pak kyai menyuruh santri-santrinya
bersila dan meletakkan batu di depan mereka duduk.
“Mari kita membaca al-fatihah…lahumul fatihaaah.” Pimpin sang
guru
Ajaib, batu-batu yang dibawa tadi menjadi kue yang dapat
dimakan, besarnya seukuran batu-batu yang dibawa. Sementara si fulan, karena
membawa batu yang kecil ia hanya mendapatkan kue yang kecil pula, nasib.
Kemudian pak kyai menyuruh
santrinya untuk kembali ke bawah. Mengambil batu yang sedang-sedang saja. Tak ingin
rugi, si fulan mengira jika ia mengambil sedang dan kemudian kembali menjadi
kue, maka habislah dia mendapatkan kue sedang, maka ia mengambil batu besar,
sangat besar. Sedangkan santri lain mengambil batu yang sedang saja.
Sesampai diatas gunung, pak kyai
meminta santrinya untuk membacakan fatihah lagi. “lemparkanlah batu-batu
kalian, kebawah…sejauh kekuatan kalian”.
Para santri melemparkan batu-batu
mereka, pun si fulan. Pak kyai berkata, “seberapa jauh batu itu terlempar,
itulah ukuran rezeki dan umur kalian.”
Si fulan menelan ludah, batu yang
ia bawa terlalu besar, ia hanya sanggup melempar tak jauh.
Pak kyai kemudian meminta kembali
para santri untuk turun. Mengambil batu yang sedang-sedang segenggam saja, masing-masing
santri 2 buah batu dengan ukuran sama. Semua santri turun dengan semangat
mereka berlari, hanya fulan yang terlihat kurang semangat.
Fulan mengambil 2 buah batu, ia
mengambil batu besar dan kecil. Dalam benaknya jika ia mengambil batu sama
besar kemudian diatas disuruh melemparkan lagi, maka matilah dia hanya mampu
melempar dengan jarak yang pendek. Jika ia mengambil batu kecil kemudian diatas
jadi kue, sedikitlah jatah makannya. Sebagai tindakan prefentif maka ia
mengambil 2 batu berbeda ukuran, besar dan kecil. Lain dari santri yang lainnya
yang mengambil batu dengan ukuran yang sama, besarnya pun tak lebih dari
genggaman.
Sampai diatas, pak kyai menyuruh
santri-santrinya memasukkan 2 batu yang barusan dibawa santirnya ke dalam
sarung masing-masing. dan apa yang terjadi?
Sial bagi si fulan, Jeng-Jot! Ia harus
berjalan dengan agak miring mulai saat ini. Ganjaran santri yang tak taat
perintah dan titah.
0 komentar:
Post a Comment